Kedudukan
Wanita dalam Islâm
Sahabat blogger berikut saya akan share ilmu tentang kedudukan wanita dalam islama
semoga bermanfaat yaa..
dan menambah pengetahuan kitaa..
Oleh: Buletin Al-Ilmu
Wanita di masa jahiliyah (sebelum
diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pada umumnya
tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa Arab, tetapi tidak menutup
kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh belahan dunia. Bentuk penindasan
ini di mulia sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah bila memiliki
anak perempuan. Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang
membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai
harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Allah subhanahu wata’ala
berfirman (artinya):
“Dan apabila seorang dari mereka diberi
khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat
marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59)
Islam
Menjunjung Martabat Wanita
Dienul Islam sebagai rahmatal
lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa
kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan
kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah
takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33). Lebih dari
itu Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya yang lain
(artinya):
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan
shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri
balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.”
(An Nahl: 97)
Ambisi
Musuh-Musuh Islam untuk Merampas Kehormatan Wanita
Dalih emansipasi atau kesamarataan
posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung
modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam
dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan
opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”,
“kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada
henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam. Dikesankan wanita-wanita muslimah
yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah
wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau
kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan
sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga
teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga
yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa
maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas
berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum
lelaki di masa moderen dewasa ini.
Ketahuilah wahai muslimah! Suara-suara
sumbang yang penuh kamuflase dari musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala
itu merupakan kepanjangan lidah dari syaithan. Allah subhanahu wata’ala
berfirman (artinya):
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali
kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu
bapak kalian dari jannah, ia menanggalkan dari kedua pakaiannya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al A’raf: 27)
Peran
Wanita dalam Rumah Tangga
Telah termaktub dalam Al Qur’an sebagai
petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha
Memilki Hikmah:
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita)
tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha benar Allah subhanahu wata’ala
dalam segala firman-Nya, posisi wanita sebagai sang istri atau ibu rumah tangga
memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah satu tiang penegak
kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh
besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setipa orang besar ada seorang
wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
rahimahullah berkta: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua
cara:
Pertama: perbaikan secara dhahir, di
pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir. Ini
didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di depan umum.
Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan
yang di rumah-rumah, secara umum hal ini merupakan tanggung jawab kaum wanita.
Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya.
Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tetaplah kalian tinggal di dalam
rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana
penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan
zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk
menghilangkan dosa-dosa kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan kalian dengan
sebersih-bersihnya.”
(Al Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini, tidaklah salah
bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritas
tergantung kepada wanita dikarenakan dua sebab:
1. Kaum wanita jumlahnya sama dengan
kaum laki-laki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita
sebagamana hal ini ditunjukkan oleh As Sunnah An Nabawiyah. Akan tetapi hal itu
tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu jaman dengan jaman
lain. Terkadang di suatu negeri jumlah kaum wanita lebih dominan dari pada
jumlah lelaki atau sebaliknya… Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang
sangat besar dalam memperbaiki masyarakat.
2. Tumbuh dan berkembangnya satu
generasi pada awalnya berada dibawah asuhan wanita. Atas dasar ini sangat
jelaslah bahwa tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat. (Daurul
Mar’ah Fi Ishlahil Mujtama’)
Pekerjaan
Wanita di dalam Rumah
Beberapa pekerjaan wanita yang bisa
dilakukan di dalam rumah:
1. Beribadah kepada Allah subhanahu
wata’ala. Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik
karena memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan dapat
beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tetaplah kalian tinggal di dalam
rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya
orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)
2. Wanita berperan memberikan sakan
(ketenangan/keharmonisan) bagi suami. Namun tidak akan terwujud kecuali ia
melakukan beberapa hal berikut ini:
- Taat sempurna kepada suaminya dalam
perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah
sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ
تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ
بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa
(sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapat izin
suaminya.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits
ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada
mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib
sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara
yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)
- Menjaga rahasia suami dan
kehormatannya dan juga menjaga kehormatan ia sendiri disaat suaminya tidak ada
di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
- Menjaga harta suami. Rasulullah
bersabda:
خَيْرُ نِسَاءٍ
رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ
قُرَيْشٍ : أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ
فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ
فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta,
adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap
anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun
‘alaihi)
- Mengatur kondisi rumah tangga yang
rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni
rumah.
3. Mendidik anak yang merupakan salah
satu tugas yang termulia untuk mempersiapkan sebuah generasi yang handal dan
diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala.
Adab
Keluar Rumah
Allah subhanahu wata’ala Yang
Maha Mengetahui tentang maslahat (kebaikan) hambanya di dunia maupun diakhirat
yaitu kewajiban wanita untuk tetap tinggal di rumah. Namun bila ada
kepentingan, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ
لَكُنَّ أَنْ
تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengijinkan kalian untuk
keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)
Namun juga ingat petuah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang lainnya:
“Wanita itu adalah aurat maka bila ia
keluar rumah syaithan menyambutnya.” (HR. At Tirmidzi, shahih lihat Al
Irwa’ no. 273 dan Shahihul Musnad 2/36)
Sehingga wajib baginya ketika hendak
keluar harus memperhatikan adab yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu:
a. Memakai jilbab yang syar’i
sebagaimana dalam surat Al Ahzab: 59.
b. Atas izin dari suaminya, bila ia sudah menikah.
c. Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. (HR. Muslim no. 1341)
d. Menundukkan pandangan. (An Nur: 31)
e. Berbicara dengan wajar tanpa mendayu-dayu (melembut-lembutkan). (Al Ahzab:
32)
f. Tidak boleh melenggak lenggok ketika berjalan.
g. Hindari memakai wewangian. (Al Jami’ush Shahih: 4/311)
h. Tidak boleh menghentakkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya.
(An Nur: 31)
i. Tidak boleh ikhtilath (campur baur) antara lawan jenis. (Lihat Shahih Al
Bukhari no. 870)
j. Tidak boleh khalwat (menyepi dengan pria lain yang bukan mahram) (Lihat Shahih
Muslim 2/978).
Hukum
Wanita Kerja di Luar Rumah
Allah menciptakan bentuk fisik dan
tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu
wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum
pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman
(artinya):
“Kaum lelaki itu adalah sebagai
pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)
Sehingga secara asal nafkah bagi
keluarga itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam
menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar
keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam
dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan
istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan
mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak
perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain
yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya
berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak
terpecahnya keluarga baik hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil
Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)
Bila kaum wanita tidak ada lagi yang
mencukupi dan mencarikan nafkah, boleh baginya keluar rumah untuk bekerja,
tentunya ia harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga
iffah (kemulian dan kesucian) harga dirinya.
Wanita
adalah Sumber Segala Fitnah
Bila wanita sudah keluar batas dari
kodratnya karena melanggar hukum-hukum Allah subhanahu wata’ala. Keluar
dari rumah bertamengkan slogan bekerja, belajar, dan berkarya. Meski
mengharuskan terjadinya khalwat (campur baur dengan laki-laki tanpa hijab),
membuka auratnya (tanpa berjilbab), tabarruj (berpenampilan ala
jahiliyah), dan mengharuskan komunikasi antar pria dan wanita dengan
sebebas-bebasnya. Itulah pertanda api fitnah telah menyala.
Bila fitnah wanita telah menyala, ia
merupakan inti dari tersebarnya segala fitnah-fitnah yang lainnya. Allah subhanahu
wata’ala berfirman (artinya):
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia untuk condong kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta
yang banyak … .”
(Ali Imran: 14).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Sesunggunya fitnah wanita merupakan fitnah yang terbesar dari selainnya …,
karena Allah menjadikan para wanita itu sebagai sumber segala syahwat. Dan
Allah meletakkan para wanita (dalam bagian syahwat) pada point pertama (dalam
ayat di atas) sebelum yang lainnya, mengisyaratkan bahwa asal dari segala
syahwat adalah wanita.” (Nashihati Linnisaa’i: 114)
Bila fitnah wanita itu telah menjalar,
maka tiada yang bisa membendung arus kebobrokan dan kerusakan moral manusia.
Fenomena negara barat atau negara-negara lainnya yang menyuarakan emansipasi wanita,
sebagai bukti kongkrit hasil dari perjuangan mereka yaitu pornoaksi dan
pornografi bukan hal yang tabu bahkan malah membudaya, foto-foto telanjang dan
menggoda lebih menarik daya beli dan mendongkrak pangsa pasar. Tak lebih harga
diri wanita itu seperti budak pemuas syahwat lelaki. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضْرَةٌ وَإِنَّ اللهَ
مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا
فَيَنْظُرُ كَيْفَ
تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَ
اتَّقُوا النِّسَاءَ فَإنَّ أَوَّلِ
فِتْنَةِ بَنِيْ
إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ
فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi
hijau dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan kalian berketurunan di atasnya.
Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah) dunia dan
takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa
Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim)
Setelah mengetahui hak dan tanggung
jawab wanita sedemikian rupa, rapi dan serasi yang diatur oleh Islam, apakah
bisa dikatakan sebagai wanita pengangguran atau kuno? sebaliknya, silahkan
lihat kenyataan kini dari para wanita karier dibalik label emansipasi atau
slogan “Mari maju menyambut modernisasi?” Renungkanlah wahai kaum wanita,
bagaimana kedaan suami dan anak-anak kalian setelah kalian tinggalkan tanggung
jawab sebagai istri penyejuk hati suami dan penyayang anak-anak?!!!!
Hadits-Hadits
Dho’if (Lemah) atau Palsu yang Tersebar di Kalangan Ummat
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَ لَوْ
بِالصِّيْنِ
“Tuntutlah Ilmu walau sampai ke negeri
Cina.”
Keterangan:
Hadits ini adalah bathil, diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Adiy, Abu Nu’aim, Al Khotib, Al Baihaqi, dan selain mereka. Hadits
ini dikritik oleh para ulama seperti Al Imam Al Bukhori, Ahmad, An Nasa’i, Abu
Hatim, Ibnu Hibban, Al Khotib, dan selain dari mereka. Karena didalam
perawi-perawi hadits ini lemah (dho’if). (Lihat Adh Dhoi’fah No.416)